Thursday, 8 May 2008

Saratus Persen

Entah bagaimana caranya, malam itu saya, Niken dan Riswan terdampar di CCF Bandung. Tentu saja bukan untuk belajar bahasa Perancis. Malam itu kita nonton acara musik. Musik apa? Saya pun baru tau ketika kita bertiga telah berada di dalam auditorium, duduk di barisan paling depan.

Saya kurang mengerti tentang pengkotak-kotakkan musik, tapi perasaan sih musik yang mereka mainkan berjenis kontemporer. Kombinasi old and new, barat dan timur. Ada lagu ska, atau yang mereka sebut campuran punk dan reggae, dengan suara ringan gamelan. Suara gamelannya mirip gamelan Bali, tapi ini mungkin akibat saya yang hanya pernah mendegar gamelan Bali. Lalu ada penyanyi wanita dengan suara membahana menyumbangkan lagu yang membuat saya bermesin waktu ke jaman Candra Kirana, ditemani penari dari Lembang.
Lagu itu lho... “Engkau Dadang... Bagaikan sinar menerangi
jalanku... Kau tunjukkan arah mana yang kini harus ku tempuh. Hingga ku tak sesat lagi seperti dulu... Dirimu Kadir... ketika aku jatuh, bangun dan jatuh...”

Panggungnya cukup penuh. Bagian ketukan diwakili oleh drum, perkusi dan kendang. Ada yang memainkan bass dan ada 3 orang sebagai brass section. Berganti-ganti memainkan saxophone, terompet maupun toleot alias trompet Sunda yang namanya saya tidak tahu pasti. Irama diisi oleh gamelan dan kadang ada melodi gitar dan biola. Kadang ada penyanyi yang menyumbangkan satu dua lagu atau penari baik yang tradisional maupun internasional seperti penari dari Africa yang menandak-nandak bagaikan burung unta.
Dengan pemusik sekelurahan begitu, bisa ditebak musik yg mengalun begitu penuh dan rancak.


Mereka memainkan musik sambil tersenyum-senyum, kadang merem melek saking khusyunya. Kadang tertawa-tawa dan saling berkomunikasi lewat tatapan mata. Apapun yang mereka lakukan, baik itu memetik dawai gitar maupun mendentingkan simbal, sukacita terlihat jelas disana. Begitu meriah dan membuat saya merasa pekerjaan memukul-mukul gamelan adalah profesi paling nikmat sedunia.

Kemudian lagu Karatagan Pahlawan dimainkan. Sebelumnya salah satu pemain gamelan menyampaikan sepatah dua patah kata, bahwa walaupun mereka bukan pahlawan, tapi mereka minta doa restu para hadirin karena akan berlaga di festival internasional di Kuala Lumpur dan Tokyo. Lalu mereka memainkan lagu mars itu secara instrumental, tentu saja dengan komposisi yang unik dan kembali begitu festive.

Ah, lihatlah mereka, begitu dekat dengan budaya negeri, dan memainkannya sepenuh hati. Lalu mereka akan melanglang buana membela Merah Putih. Menghadirkan kebahagiaan lewat nada-nada ceria dan membuat bergoyang. Seperti membagi-bagikan pil bahagia.

Tiba-tiba saja saya ingin jadi tukang kendang.

check out their site: http://www.saratuspersen.com

8 comments:

  1. sayah mantan tukang kendang...emg asik siah dit maen kendang teh, stress langsung ilang! heuheuheu.... ;]

    ReplyDelete
  2. si niken bisa jembe tuh. Jembe juga oke...

    ReplyDelete
  3. gua bisa kicik-kicikkk...............mari kita membuat kelompok musik kontemporer ditaaa...biar bisa ke luar negriiiii..

    ReplyDelete
  4. tapi saya hanya ingin ikutan teriak-teriak dan merem melek diiringi hentakan kendang...

    ReplyDelete
  5. aduuuh sayah telat yeuuuh...say nuhun for journalnyah
    thanks teh dita

    ReplyDelete
  6. Oh...lagu dadang....
    kami bernyanyi lagu itu dita, diiringi gitar oleh riswan, dan tanti merekamnya. yay!

    ReplyDelete