Monday 22 June 2009

Real blue of real Madrid




You can never go wrong with a blue sky :)

I don't drink Grenadine syrup in Granada




A lot late! But I guess I have to share you this collection, because the place is simply breathtaking. Every scene, building, craving, park, even a smallest detail of arabic letter decoration made you say "Subhanallah.."
In Europe but feels like thousand miles away. A great escapade :)

Monday 1 June 2009

Cewek single males masak

Belakangan ini saya lagi gampang kesel sama komen-komen orang di fesbuk dan sekitarnya. Mungkin karena PMS. Tapi ya mungkin juga saya memang terlalu keras kepala untuk jadi seperti mereka.
Yang pertama, temen deket saya yang memangnya adalah seorang wanita luar biasa beranak dua, posting tentang susah senangnya menjadi Ibu. Lalu ada temennya (yang sebenernya ga saya kenal) komentar begini:  “Berbahagia lah para suami yang mempunyai istri pintar dan berpendidikan tinggi yang dgn kebesaran hatinya, mereka memilih utk lebih mengutamakan keluarganya daripada kerja kantoran..” >> dikutip mentah-mentah. Saya kok rasanya pingin nampar2in bapak yang nulis ini ya. Ga tau untuk alasan apa, saya kok kayak kesentek gitu ya. Tapi terus saya malu, karena sadar, mungkin itu cuma karena saya aja yang sekarang masih terlalu egois sehingga kerja yang banyak jalan-jalannya. Saya pun mengurungkan niat untuk membalas komentar penyulut pertengkaran.
Lalu, seorang temen saya yg pintar sedang kangen sama ceweknya yg berjauhan. Hehe, selamat long distance relationshit ya, mas. Dia posting foto ceweknya yang memang cantik itu. Lalu ada cewek yang komen: “..menikahlah, biar bisa dibawa kesini, ada yang masakin, ada yang nemenin..kan enak tuh..wakakak..” >> Lagi-lagi dicopy paste mentah-mentah dari sumber.
Saya merasa kesentek lagi (btw, bahasa indonesianya kesentek apa ya?) Kok gitu sih? Tadinya mo komentar, kawin aja sama babu. Tapi ya, saya sadar udah terlalu banyak bertengkar sama cewek itu, jadi ya udahlah. Lagian takut si cewek cantik (pacar si cowok pintar) itu disangka babu.
Lalu tadi kan lagi becanda-becanda sama temen saya yang sudah beranak dua, tentang bagaimana para lelaki setelah menikah jadi melar gila-gilaan. Saya iseng melontarkan kalimat, “Duh, gimana gue ya. Gue kan sukanya cowok kurus. Apa cowok gw ga usah gw nikahin aja ya, biar kurus terus?” Terus dia bilang, “Ga akan gendut, Dita kan jarang masak.” Dalam hati saya, ngehe lu, laki gw emangnya orang susah, ga dimasakkin ya tetap makan dong. Dan sedikit emosi saya bilang, “Ya, gw cari suami yang bisa masak sendiri dong.” Lalu dia becanda yang salah banged, “Berarti tambah kurus dong, karena ngenes harus masak sendiri.” Dan meledaklah saya, “Ya udah nikah sana sama babu.”

Ada apa sih dengan saya? Ada apa sih dengan orang-orang di luar sana?
Mungkin saya terasuki hantu feminis menakutkan, karena sebagai wanita saya merasakan bahwa saya terkungkung stereotype seorang istri. Yang harus masaklah, nyuciin baju suami, ngepel lantai, dsb. Yang jelas, kalau suatu saat nanti saya menikah, saya ga mau suami saya menikahi saya gara-gara pingin dimasakkin, pingin dicuciin dan pingin ditemenin. Gosh, ngegaji koki sama beli mesin cuci dan radio butut kayaknya lebih gampang daripada nyari istri. Eh atau lebih susah ya? Hihi.
Bukannya saya ga mau masakkin atau nyuciin bajunya, tapi ya saya ga pingin aja urusan domestik dibebankan ke saya. Bilang saya males, bukan istri yang baik, atau apalah terserah, tapi ya itulah saya. Saya bukan seorang yang menikmati masak, tapi bisa nyanyi-nyanyi kegirangan sambil nyuci mobil. Mungkin saya ga telaten bersihin rumah, tapi saya suka kok nyuci baju. Jadi intinya adalah, saya senang main air. Lho? Bukaaaann… Intinya, hal-hal kayak gitu kan bisa dibicarakan. Saya bener-bener kesel karena seorang istri memiliki keterbatasan dalam menentukan hidupnya. Yang kayak gini nih yang bikin saya males nikah. Bukannya saya ga laku. Hahhahaa.

Mungkin sedari saya kecil, saya memiliki kebebasan dalam menentukan pilihan. Beberapa orang bahkan pernah berkomentar, saya itu free soul, ga bisa dimiliki. Mereka ga pernah membayangkan diri saya bisa menikah dan tunduk pada suami. Yeah, somehow, saya juga agak-agak takut sih. Bukan agak, tapi takuuut banged. Selama ini saya mendesain diri saya untuk bisa berdiri sendiri, ga tergantung sama orang lain. Rasanya enak. Dan setelah saya merasa berhasil, saya dengan entengnya bisa bilang pada mereka, “Hey, ini hidup gue, urusin idup lo sendiri!” Mungkin pikiran untuk ngikutin kata suami, harus mempertimbangkan pendapat suami, harus basa basi ikutan acara keluarga, membuat “kebebasan” saya sedikit tercabut.

But, what do I know about married? Nothing. Minimnya pengalaman saya dalam menikah (ya memang belum ada, masih single ting ting begini), membuat semua sumpah serapah saya tentang pernikahan jadi nonsense. Yang saya tau cuma the joy of being single, although not available ;) Mungkin aja setelah menikah, ternyata suami saya adalah orang yg masakannya enak, mau nyuciin semua baju saya (walopun itu berarti sedikit kesenangan saya main air diambil olehnya), dan ga keberatan saya jadi cewek pemalesan yang setiap harinya leyeh-leyeh nonton DVD atau kerajinan manjat dinding supaya tangan kokoh. Kalo kayak gitu kan enak. Karena terus terang, saya membutuhkan seseorang yang merawat saya saat hangover. Haha, itu berarti doi ga bisa ngelarang saya ngebir.
Doakanlah, nanti saya akan menemukan compatible partner, dimana dia memandang pernikahan sebagai bentuk baru dalam menjelajahi dunia ini. Menemani saya merangkai mimpi, merancang strategi mewujudkannya dan jadi rekanan paling top untuk memperkaya khasanah pengetahuan. Tidak sebatas urusan dapur dan kasur.

Hehe, kawin aja sama ensiklopedia, Dit.   

Sedikit pembicaraan menyangkut tema ini dilakukan tadi malam.
“It would be nice to have someone to wake up by my side.”
“Yeah, I agree.”
“But, the person doesn’t have to be a wife.”
Laughing out loud.
“Oh, I am feeling like a very bad girl for thinking like that.”