Saturday 3 October 2009

Kring kring gowes gowes

Mengecap satu setengah tahun di Banda Aceh memang pengalaman besar bagi saya. Bagaimana tidak, anak mama yang manja ini sebelumnya hanya muter-muter di Bandung ini, kini akan tinggal jauh dari orang tua, dengan motivasi kuat: membantu korban tsunami. Hihi, maksud hati sih begitu. Singkat kata singkat cerita, hari-hari dilalui di tanah Rencong. Sebagian besar terserap oleh derasnya arus kerjaan, sisanya digunakan untuk menikmati suasana Banda Aceh. Perlu lebih kreatif memang. Di tempat ini tidak ada mall, tidak ada bioskop dan dulu tidak ada kolam renang untuk mengikis lemak yang gampang sekali terbentuk akibat pola makan tidak terkendali. Tidak ada juga komunitas yang dulu selalu menemani di Bandung. Tapi, di balik itu semua, Banda Aceh menyelipkan kisah yang lain.
Banda Aceh mendekatkan saya lagi dengan sepeda. Ya, sepeda. Mungkin semasa kecil semua anak akrab dengan sepeda. Saya ingat, setiap kenaikan kelas adalah saatnya memecahkan tabungan dan melihat apakah sudah cukup dibelikan sepeda? Keinginan kecil, tapi dampaknya luar biasa dan ditunggu-tunggu setiap akhir tahun.
Saya mungkin bukan seorang yg sangat aktif bersepeda. Setelah setahun di Aceh, dan kontrak kerja diperpanjang, akhirnya saya memutuskan untuk membeli sepeda. Hehe, yang lain beli motor, ini malah beli sepeda. Saya pun jarang mengikuti rute-rute ekstrim para bikers dengan alasan takut pingsan. Daripada nyusahin, hayo? Bersepeda ke kantor pun jarang saya lakukan karena terus terang saya menikmati perjalanan dengan labi-labi yang mana hanya bisa dinikmati di Banda Aceh. Lalu untuk apa saya bersepeda? Kalau ada yang bilang hanya untuk gaya-gayaan, saya kira itu mungkin benar. Eh tapi sekalian diet juga loh, walaupun agenda kongkow-kongkow setelah capek bersepeda membuat tujuan ini bablas.
Tapi sebagai anak gaul saya sangat menikmati kegiatan komunitas ini. Haha hihi dan menambah teman baru. Walaupun kalau yang lain ngomongin sepeda saya melengos saja. Karena saya terlalu malas ngebengkel sepeda, dan saya senang sepeda merah saya apa adanya. Yang penting warnanya keren. Mungkin termasuk sepeda paling ga banged pada masanya, tapi saya mana peduli.

Sayangnya, baru juga menikmati si sepeda baru, saya dipindahkerjakan ke ibukota. Si merah lucu dijual dengan harapan akan punya sepeda yang ga kalah cute-nya. Tapi cerita saya dan sepeda nampaknya tamat di kota besar ini. Hilang ditelan hiruk pikuk ibu kota dan saya yang keranjingan bikin video clip di bis dan metro mini. Mungkin juga karena kurang motivasi dan tuntutan tampil kece di kantor. Apalagi saya ga bisa membayangkan menyeberangi jalanan Gatot Subroto yang dilirik aja sudah menyeramkan, ramenya dan debunya. Belum lagi jarak tempuh yang kadang ga kira-kira. Saya selalu ingat kata teman saya, “Bukannya gw ga mau sepedaan di Jakarta, tapi realistis aja gitu loh.” Saya yang waktu itu berada di bilangan Pancoran dan janji ketemu teman di Kebon Kacang merasa itu ada benarnya. Maka, kembalilah saya bikin video clip di bis 640.

Nasib mempertemukan saya dengan kegiatan bersepeda lagi. Saat ini saya kuliah lagi di negara Eropa dengan pengguna sepeda paling banyak. Dan rasanya luar biasa, saya sangat bersyukur. Terlalu banyak faktor pendukung kegiatan bersepeda disini. Pertama, topografi daerahnya flat, dengan gunung tertinggi 300m saja. Kedua, rata-rata kotanya dirancang kecil dan efisien, sehingga setiap tempat berada dalam jangkauan benar-benar realistis dan ada jalur khusus untuk pengguna sepeda. Bahagia rasanya diperhatikan. Ketiga, harga sepeda murah. Keempat, udaranya dingin ga bikin gerah, jadi tetap bisa tampil keren tanpa ketek basah di kampus, walaupun kalau sudah terlalu dingin semakin sedikit pengguna sepeda. Selain udaranya dingin, anginnya ngajak berantem juga jalanan licin. Kembali lagi, realistis aja gitu loh.
Saya dengan kalapnya langsung belanja sepeda. Bayangkan sepeda pertama saya adalah sepeda lipat dengan harga 10 Euro yang kalau dikurskan adalah sekitar 150 ribu rupiah. Bahkan lebih mahal jaket saya daripada sepedanya. Bukan sepeda baru, tapi dia meluncur dengan mulusnya dan saya bersepeda dengan nyamannya. Memang sih, saat saya ugal-ugalan sedikit, pernah lalocotan, tapi yah masih bisa diperbaiki dalam waktu relative singkat.

Saya ingat sekali pembicaraan dengan teman berkulit putih. Waktu itu ada yang nanya, “Do you bike for fun?” dan dia langsung membantah dengan tegasnya, “I don’t bike for fun, I bike for transport.” Dia memang terkenal environmentalist tingkat atas yang bahkan menolak naik pesawat jarak dekat dengan alasan mengurangi konsumsi bensin.
Disitu saya tercenung, dan memikirkan saya dengan kisah bersepeda saya. Buat apa saya bersepeda? Ya biar sehat, biar gaya, biar gaul, biar irit, biar pinter, biarkanlah saya bersepeda. Semua orang punya alasan untuk bersepeda. Tapi saya senang alasan dia. Bersepeda, ya biar bisa kemana-mana. Alangkah indahnya kalau setiap orang bisa menjadikan itu sebagai motivasi bersepeda. Karena naik mobil itu boros, jalan kaki lambat dan naik bis tidak bisa setiap saat. Buat dia, dan sejuta umat lainnya di kota ini, sepeda sudah menjadi bagian sehari-hari. Tidak ada alasan untuk tidak bersepeda. Tua muda, miskin kaya, besar kecil, ganteng atau tidak, semua orang punya hak untuk bersepeda.
Saya melirik sepeda hijau saya. Warnanya hijau kusam, terlihat tua dan tidak sporty tapi selama 6 bulan dia meluncur mulus. Saya lihat sepeda orang lain di jalan. Berbagai model dan ukuran, baru dan lama. Berbagai warna, jenis dan kualitas. Senang rasanya melihat semuanya bebas nampang di jalanan.
Saya senang ide yg ditransfer oleh teman saya itu. Ini semacam menggowes sepeda pada esensinya. Tiba-tiba saya jadi menyayangi sepeda saya berlebihan, seperti jatuh cinta pada sahabat sendiri. Iya ya, mau dimana saja, ada komunitas atau tidak, ada jalur sepeda atau tidak, ya sepedaan aja. Saya berhak untuk itu.

Mau kemana? Ke pasar naik sepeda. Saya dan sepeda saya, sederhana toh.

Eh yang nanyi lagu Kring Kring Gowes Gowes itu siapa ya? Putar putar Jakarta Ancol Monas, lewat Harmoni, duh asiknya bersepeda. Dia realistis ga sih?